Sunday 21 October 2012

Andai Aku Menjadi Ketua KPK

Pagi itu aku dibikin kesal sama tikus sialan yang merusak mesin cuciku. Bagaimana tidak kesal, itu adalah kali ketiga mesin cuciku rusak akibat ulah tikus sialan itu. Dan bukan hanya mesin cuciku saja yang jadi korbannya, barang-barang lainnya pun banyak yang rusak oleh tikus itu.

"Ah sudahlah nanti malam saja aku perbaiki mesin cuci ini. Sekarang aku lihat berita dulu di TV sambil sarapan", batinku saat itu.

Berita di TV tidak kalah serunya dengan kegalauan hatiku saat itu. Beritanya mengabarkan tentang koruptor yang masih buron dan belum tertangkap hingga saat ini. Ulah koruptor ini benar-benar sangat merusak, sama dengan tikus yang ada di rumahku. Kalau tikus di rumahku merusak barang-barang yang ada di sekitarnya tanpa pandang bulu. Demikian juga dengan koruptor, yang merusak dan menggerogoti aset-aset dan kekayaan negara tanpa peduli dengan akibat yang ditimbulkannya.

Pantas saja koruptor selalu diasosiasikan dan disimbolkan dengan tikus. Karena memang sama-sama menjengkelkan dan merusak.

Kesamaan lainnya antara tikus dan koruptor adalah dalam hal pembasmiannya. Ketika aku berusaha membasmi tikus-tikus di rumahku, baik dengan cara menggunakan lem tikus, racun tikus, perangkap, dan lain-lain, banyak tikus yang tertangkap, akan tetapi jumlah tikus yang baru, sepertinya malah jadi bertambah. Tapi ketika tikus-tikus ini dibiarkan begitu saja, jumlahnya pun hanya segitu-segitu saja, namun dengan jumlah yang hanya segitu banyak barang yang tambah rusak.

Pun demikian halnya dengan koruptor, ketika para koruptor ditangkapi, jumlah koruptor-koruptor baru seakan terus bertambah dan bermunculan. Tapi ketika koruptor ini dibiarkan banyak aset dan kekayaan negara yang digerogotinya sehingga merugikan negara dan masyarakat.

Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia sendiri sudah ada sejak zaman Orde Lama. Ketika itu tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Yang kedua, Operasi Budhi.

Pada masa awal Orde Baru, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Kemudian diganti dengan Komite Empat. Dan diganti lagi dengan Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi.

Di era reformasi, dibentuk Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Kemudian dibentuk juga Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.

Terlepas dari pasang surutnya lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia, seandainya aku jadi ketua lembaga pemberantasan korupsi (kalau sekarang KPK, entahlah nanti bakal diganti apa lagi), maka aku akan belajar dari tikus di rumahku. Karena saat ini rumahku relatif aman dari bahaya tikus.

Apa yang kulakukan sangat sederhana (tidak seperti sebelumnya yang menggunakan ini dan itu untuk membasmi tikus), yaitu dengan menutup akses pintu keluar masuknya tikus ke dalam rumahku. Hasilnya tikus yang dari luar tidak dapat masuk ke dalam rumah dan tidak akan membuat kerusakan di dalam rumah. Kemudian tikus yang masih ada di dalam rumah aku cari sampai ke "akar-akarnya" dan dimusnahkan. Sesederhana itu.

Jadi untuk membasmi koruptor adalah dengan cara menutup serapat-rapatnya akses pintu seseorang melakukan korupsi. Sehingga koruptor baru tidak akan bisa masuk dan melakukan korupsi. Kemudian untuk koruptor lama yang masih ada di dalam sistem, dicari sampai ke "akar-akarnya" dan "dimusnahkan". Sesederhana itu.

Hasilnya negara kita akan aman dan bebas dari para tikus pengrusak ini.

http://lombablogkpk.tempo.co/index/tanggal/157/Setyono.html

No comments: